Toxic Positivity

Memotivasi orang lain dan diri sendiri untuk selalu berpikir positif tentunya adalah hal yang baik. Berpikir positif merupakan sebuah nasihat yang sering diberikan oleh orang tua kepada anaknya, guru kepada muridnya, kepada pasangan, teman, dan saudara. Namun, apakah Sahabat Tao mengetahui bahwa terus-terusan berpikir dan bersikap positif ternyata ada efek sampingnya?

Banyak ahli psikologi dan pejuang kesehatan mental mulai berkampanye untuk menyampaikan pesan, bahwa memaksakan diri untuk berpikir dan bersikap positif secara terus-menerus ternyata tidak baik. Istilah baru yang sedang tren saat ini yaitu toxic positivity, yang artinya kepositifan malah menjadi racun atau penghambat keseimbangan mental seseorang. Mengapa bisa begitu?

Setiap orang di dunia ini memiliki kemampuan untuk merasakan berbagai emosi, seperti senang, bersemangat, puas, terharu, sedih, marah, kecewa, takut, dan lain-lain. Sebagai contoh, seorang anak kehilangan hewan peliharaan yang selama ini sangat dicintainya. Emosi alamiah yang dirasakannya adalah sedih, takut, kecewa, marah, dan berduka. Bila ia tidak mau mengakui bahwa perasaan itu ada dan nyata, tetapi justru berusaha mengelak, memutarbalikkan fakta, dan meyakinkan dirinya bahwa ia harus bahagia saat itu juga, maka yang terjadi di dalam dirinya adalah ketidakseimbangan hormon dan pikiran/mental. Hal ini dapat mengganggu kesehatan mentalnya bila dilakukan terus-menerus.  Sebaliknya, jika ia mau menerima kenyataan serta melepaskan emosinya dengan menangis dan berduka untuk beberapa saat (tidak sampai berlarut-larut), hormonnya akan lebih seimbang dan kesehatan mentalnya lebih terjaga.

Sejak kecil beberapa dari kita diajarkan bahwa bersedih adalah hal yang negatif dan kurang baik. Anak laki-laki diajarkan bahwa menangis adalah hal yang memalukan dan  menunjukkan bahwa dirinya lemah. Pandangan seperti ini mulai tidak dibenarkan dalam dunia parenting. Menghalangi anak untuk mengekspresikan apa yang benar-benar dirasakannya dapat membuatnya tumbuh menjadi pribadi yang tidak berani terbuka, baik terhadap dirinya sendiri, keluarga, maupun pasangannya di masa depan. Hal ini dapat menghambat komunikasi dengan orang lain, keluarga, dan pasangannya.

Ajarilah anak-anak kita untuk mengenali perasaannya dengan kalimat seperti, “Oh adik takut ya?”, “Oh adik sakit ya?”, “Adik tidak senang ya mainan adik diambil kakak?” Setelah itu, kita memberi pengertian dan penjelasan. Kemudian, kita membantu mengalihkan, memberitahunya apa yang harus dilakukan, dan memberi motivasi. Jangan sejak awal langsung dipotong dengan kalimat seperti, “Tidak apa-apa, tidak sakit, tidak usah menangis.” Itu akan menumpulkan potensi pemahaman dirinya.

Saat seseorang bisa menerima dan memahami rasa yang dialaminya, ia akan tumbuh dengan jiwa yang lebih seimbang dan lebih bahagia untuk jangka panjang. Asalkan bersedih tidak sampai berlarut-larut. Lalu seseorang bisa bangkit kembali menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Di situlah ia juga belajar untuk merevisi diri.

Leave a Reply

Your email address will not be published.