Sup Batu Sang Tentara

Seorang tentara sedang berjalan menuju sebuah desa dengan perut yang kelaparan dan berharap bahwa warga desa dapat memberikan dirinya semangkuk sup hangat untuk mengisi perutnya. Namun, sesampainya di desa tersebut, para warga desa menutup semua pintu dan jendela dengan rapat. Karena perang yang berkepanjangan, warga desa tidak berani keluar rumah dan hanya berdiam di dalam rumah masing-masing.

Sang tentara lantas mengeluarkan panci aluminium dari dalam tasnya dan menaruh sebuah batu ke dalam panci itu. Kemudian, ia menuangkan sisa air dari botol minumnya dan memasaknya di atas kayu bakar. Melihat sang tentara sedang memasak makanan, para warga yang tertarik mulai bermunculan dan menanyakan apa yang sedang dibuatnya.

“Ini adalah sup batu,” jawab sang tentara.

“Hanya dengan batu saja? Memang enak?” tanya para warga yang kebingungan.

“Tentu saja, tapi akan lebih baik kalau kita punya beberapa wortel,” jelas sang tentara.

Mendengar penjelasan tu, beberapa warga bergegas menuju ke rumah masing-masing dan membawa beberapa potong wortel. Setelah 10 menit berlalu, para warga masih saja penasaran. Sang tentara kemudian bersenandung, “Alangkah baiknya jika kita punya kentang dan daun bawang untuk menambah cita rasa sup ini.”

Para warga tergopoh-gopoh berlari ke rumah mereka masing-masing dan kembali membawakan beberapa potong kentang dan daun bawang. Dalam satu jam sang tentara berhasil meminta potongan daging sapi, jamur, garam, dan berbagai rempah-rempah. Setiap kali sang tentara meminta sesuatu, orang-orang yang berbeda berlari membawa barang yang diminta dari rumah mereka masing-masing.

Akhirnya, sang tentara mengeluarkan batu dari dalam sup itu dan membagikan sup itu kepada semua warga. Mungkin ketika kita membaca cerita ini, kita merasa bahwa sang tentara telah mengelabui para warga untuk memberikan barang-barang mereka. Akan tetapi, sang tentara ini sebenarnya sudah mengetahui dengan jelas apa yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan besar demi kepentingan bersama.

Hal ini perlu juga kita pelajari dalam meragi Tao di dalam masyarakat. Kita harus mengerti dengan benar “The Big Picture” atau gambaran besarnya tentang apa yang masyarakat butuhkan di dalam kehidupan. Lalu dengan informasi itu, kita secara proaktif melakukan hal-hal yang secara tidak langsung mengajak masyarakat untuk berpartisipasi mencapai tujuan yang hendak dicapai bersama-sama.

Hanya dengan itulah, masyarakat baru akan tertarik untuk mengetahui apa yang kita tawarkan melalui agama Tao. Jika tidak, kita hanya akan seperti seorang sales ensiklopedia yang sedang “berjualan” dagangan dari pintu ke pintu.

Lantas apa yang menjadi kebutuhan utama masyarakat? Tidak ayal, masyarakat membutuhkan keadaan ekonomi dan sosial yang baik. Jika hal mendasar ini saja tidak terpenuhi, bagaimana mungkin mereka tertarik dengan filosofi kehidupan?

Oleh karena itu, dengan adanya Yayasan Dana Paramitha Majelis Tridharma Indonesia (YDPMTI) sekarang, seharusnya kita bisa menggunakan yayasan ini sebagai “kendaraan” kita, orang Tao, untuk mengembangkan dan meragi agama Tao ke seluruh pelosok negeri. Secara proaktif, kita perlu mengajak warga masyarakat untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan sosial yang kita adakan yang pada akhirnya menumbuhkan keingintahuan masyarakat luas pada agama Tao.

Leave a Reply

Your email address will not be published.