Ada yang mengatakan bahwa hidup manusia tidak bisa lepas dari uang dan materi. Ada yang berkelakar bahwa kita susah payah mencari uang sampai stres, kemudian dipakai untuk memperoleh hiburan agar tidak stres, lalu kita lanjut mencari uang sampai stres kembali. Apakah benar begitu?
Pada zaman sekarang di mana upah gaji semakin terseok-seok dalam mengimbangi inflasi yang menanjak dan kompetisi kemampuan yang brutal, memang benar bahwa kita mau tidak mau harus lebih bersusah payah dalam mencari uang. Materi membelit setiap orang, bahkan membuat sebagian orang buta akan hal lain, kecuali materi. Manusia memang hidup dengan mengandalkan materi. Logikanya, kita tidak bisa memikirkan belajar spiritualitas dan beramal jika kebutuhan hidup kita sendiri belum cukup.
Dalam ajaran Tao, kita dinasihati untuk selalu hidup hemat, sederhana, dan berkecukupan, tetapi jangan sampai kehilangan ‘akunya’. ‘Aku’ di sini adalah hakikat menjadi manusia yang sebenarnya, yang mana manusia harus dapat membaur dan selaras dengan segala yang ada di dunia. Jangan sampai mati di satu titik, terpaku pada materi, buta karena materi, apalagi menghalalkan segala cara demi materi! Oleh karena itu, orang siutao harus belajar untuk hidup bebas dan tenang serta melepaskan diri dari belitan materi. Namun, bukan berarti kita lari dari kenyataan, misalnya melepaskan diri dari materi dengan cara hidup di biara. Ini merupakan contoh ekstrem yang menyalahi hakikat hidup sebagai manusia yang selaras dengan Tao.
Kita harus ingat bahwa hidup manusia hanya sementara. Setelah berakhir, materi kita akan ke mana? Apakah ada artinya lagi setelah raga kita mati? Kita memang harus rajin bekerja supaya keluarga kita berkecukupan tanpa harus mengemis dan anak-anak kita bisa dibesarkan dengan sarana yang cukup agar kelak mereka dapat menjalani hidupnya sendiri. Namun, hidup kita harus lebih bermakna daripada sebatas sibuk mencari materi saja. Berbuatlah kebaikan, belajarlah dan perbaiki diri, serta siapkan diri kita dengan sebaik-baiknya untuk tahap selanjutnya, yaitu saat kita sudah meninggalkan jasmani kita!
Mengapa kita terus diingatkan untuk melakukan gong de (功德) dan memupuk moralitas? Memupuk gong de dan moralitas adalah jalan untuk melepaskan diri kita dari belitan materi. Selain terus berjuang dan bekerja, bisakah kita menyempatkan diri untuk memikirkan orang lain di antara kesibukan kita yang tak kunjung habis? Bisakah kita tetap berbuat kebaikan dengan membantu orang lain di bawah stres dan tekanan hidup kita sendiri? Kapan terakhir kali kita memikirkan hidup orang lain? Jika tidak bisa beramal materi, maka menolong dengan perbuatan juga merupakan sesuatu yang bermakna. Misalnya, berbuat kebaikan dengan cara diam-diam memberikan jalan atau kemudahan bagi orang lain, tidak mempersulit hidup orang lain, tidak memperkeruh keadaan, dan tidak mengumbar kejelekan orang lain untuk menjatuhkannya.
Kekurangan materi adalah faktor besar yang menyebabkan orang bisa berubah menjadi manusia yang tak bermoral. Hendaknya kita membuka luas pandangan kita tentang makna hidup manusia yang sesungguhnya dan berpegang teguh pada ajaran Tao yang agung agar kita menjadi manusia tangguh yang tidak terpengaruh oleh tekanan hidup.
Leave a Reply